Kamis, 08 September 2011

5 April 2011


            Saya ingin berbicara namun entah pada siapa. Saya ingin berteriak namun tak ada suara yang keluar. Serak, basah. Tinggal satu-satunya cara agar saya bisa melampiaskan perasaan ini. Perasaan yang entah apa wujudnya tetapi bisa membuat saya merasa terkutuk dan bersalah. Akhirnya saya memilih menangis.

            Terlalu gengsi untuk seorang saya menangis di keramaian. Kemudian memilih tempat yang aman agar tak ketahuan.

            Sialan! Saya sudah menyepi dan air mata tak juga keluar bertubi-tubi. Saya menangis dalam hati. Rasanya lebih sakit dari apapun. Rasanya seperti ditusuk belati secara beruntun. Saya sedih tapi tak bisa menangis. Saya sakit tapi tak bisa terriak. Saya ingin tapi tak mampu bicara. Lalu saya harus apa? Menikmati sendiri? Meratapinya yang kemudian menggerogoti hidup saya hingga mati. Sampai saya benar-benar pergi dan tak bisa kembali. Tak bisa menguak, ekspresikan cerita rasa membuat saya mati cara. Bagaimana, bagaimana? Harus apa, harusa apa? Lakukan sesuatu.

            Sebuah pengakuan. Saya bersalah pada seseorang. Bukan seorang, melainkan beberapa orang. Orang yang katanya berhati batu seperti saya bisa-bisanya bilang memiliki rasa bersalah. Kalian salah! Kalian goblok! Kenapa tidak sekalian benar seperti itu, kepala batu. Kenapa saya sangat merasa bersalah. Memiliki rasa bersalah lebih besar dibanding rasa-rasa bersalah yang lain. Sampai menghantui hidup saya. Menelusup dan mengganggu mimpi indah saya.

            Pernah saya berharap tidak memiliki rasa bersalah, seperti penjahat-penjahat itu. Sepert koruptor-koruptor itu! Gobloknya, saya memang saya, bukan mereka. Setiap sedikit saja salah yang saya perbuat. Bisa berlarut-larut saya menindaklanjutinya. Memikirkannya hingga menemukan cara agar saya bisa menebusnya. Yah, beginilah saya. Selalu dihantui rasa bersalah meski sekecil apapun. Meski lawan saya masih memikirkannya atau tidak. Saya tidak peduli. Perasaan saya memang begini. Dan saya tidak mampu melawannya. Apakah kamu juga merasa begitu?

            Maaf. Apa? Semudah itu. Jangankan bilang maaf. Membuka pesan seseorang saja saya tidak berani. Takut – takut ada yang salah. Takut – takut salah bicara. Saya tak berani bicara. Walau sepatah kata maaf. Saya berpikir terlalu gampang sekali bilang satu kata itu. Dan apakah setelah itu semua akan berakhir? Semua akan terselesaikan? Tidak. Maka dari itu saya tak berani menjawab walau sekedar permintaan maaf. Saya memilih diam.

            Diam. Hhhh! Diam, diam, diam! Terkadang saya benci diam! Diam membuat orang berpikiran macam – macam. Diam membuat  seseorang bisa salah paham. Diam banyak yang menyalahartikan. Diam bisa menjadi boomerang, menganggap mengacuhkan atau tak pedulian.

            Tidak benar. Saya diam karena tak mampu bicara. Saya takut berbicara salah yang kemudian menyakitkan. Yang lebih berakibat daripada sekedar diam. Saya bisa bicara tapi tak bisa bicara. Saya kesusahan merangkai kata-kata. Setiap berkata-kata berbeda dengan keinginan hati saya. Merangkai apa? Bicara bagaimana. Setiap pikiran, setiap tulisan dan lisan tak mau berjalan beriringan. Saya terbagi menjadi beberapa bagian. Saya menjadi tulisan, saya yang susah bicara, dan mengungkapkan pikiran.

            Untuk seseorang dan beberapa orang yang saya tahu saya bersalah dan saya tahu ada sebagian dari kalian yang tak menghiraukan. Seseorang itu, satu dari kalian yang membuat hati saya mengganjal. Saya hanya bisa menulis ini, tak berani membalas pesan, apalagi memanggil untuk berbicara. Saya tidak bisa. Maaf. Terakhir memang kata maaf yang harus saya gunakan. Yap. Saya tahu itu tidak menyelesaikan. Paling tidak, malam ini saya bisa mengutarakan. Sedikit bicara walau lagi-lagi lewat tulisan.

            Maaf, begitu dalam memikirkannya karena belum bisa menebusnya…


NC, 26/03/2011
(02:35)




           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Waktu

Kerap kau telantarkanku Saksikan tangis di malam itu Sering ku kehilanganmu ? Sering sekali malah ! Ku kejar kau hingga bercucur peluh - pel...